Fenomena sosial adalah
gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dan dapat diamati dalam
kehidupan sosial. Banyak sekali fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita.
Fenomena sosial terjadi terutama di perkotaan dimana ada banyak sekali masyarakat
dari beragam latar belakang ekonomi, tempat kelahiran, budaya, dan
bahkan agama. Salah satu contoh fenomena sosial yang ada di Yogyakarta adalah
kejahatan kriminalitas. Belakangan ini di Jogja terdengar beberapa berita
tentang korban Klitih yang dilakukan oknum remaja di Jogja. Klitih ini semacam
gang, tim atau grup pengganti tawuran, biasanya sepulang sekolah berputar
keliling mencari mangsa dari murid sekolah rival dijalan-jalan yang sepi
dengan mengendarai sepeda motor. Kejahatan atau kriminalitas di kota-kota besar
sudah menjadi permasalahan sosial yang membuat semua warga yang tinggal atau
menetap menjadi resah, karena tingkat kriminalitas yang terus meningkat setiap
tahunnya yang juga dapat terkena pada siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.
www.kaskus.com |
Sistem pendidikan saat ini gagal
melahirkan generasi cemerlang yang berkepribadian unggul. Sistem pendidikan
kita seakan tiada daya menggenggam para pelajar dalam proses edukasi. Para
pelajar yang notabene pemuda seolah liar tak terkendali meluapkan emosi mereka.
Pendidikan agama islam memang diberikan hanya saja dalam sudut pandang sekuler.
Itu pun dengan metode pembelajaran yang didesain sebatas pemberian pengetahuan
belaka dan jam pelajaran yang minimalis (3-4 jam pelajaran/pekan). Ketika Islam
hanya diberi ruang sempit di pojok-pojok masjid, maka iman dan takwa pun tak
diizinkan dapat mewarnai setiap aktivitas di luar ranah ibadah spiritual. Oleh
karenanya, tidaklah mengherankan jika output pendidikan pribadi anak didik
menjadi sangat sulit dikendalikan dan diarahkan.
Sistem pendidikan Kapitalisme juga
telah menempatkan materi sebagai landasan berpikir dan beramal. Harta, tahta,
wanita, dll diagung-agungkan. Setiap individu sangat didorong meraih semua itu
karena memang itulah yang dianggap berharga dan mulia. Oleh karenanya,
muncullah hedonism di kalangan pelajar. Ketika materi yang dianggap ‘sakral’
tersebut diganggu maka akan ada upaya mempertahankannya, tak jarang bahkan
hingga mati-matian. Tak sedikit kasus pelajar bersimbah darah (bahkan hilang
nyawa) ‘hanya’ karena ingin diterima dalam geng pelajar tertentu, dendam
alumni,dll.
Kapitalisme juga telah merenggut
kesadaran politik pelajar hingga titik nadirnya. Proses pendidikan tak hanya
lemah dalam membentuk kesadaran, tetapi juga dijauhkan dari politik. Padahal
sejatinya politik merupakan pengaturan urusan ummat dalam setiap aspeknya.
Alih-alih berkontribusi dalam menyelesaikan problem bangsa, sekedar mengikuti
kabar dan berempati terhadap sesama saja sudah menjadi barang langka di
kalangan pelajar kini. Para pelajar banyak berkutat pada urusannya saja. Mereka
cenderung tercetak menjadi individu-individu yang fokus pada apa yang terjadi
kini dan atau yang menimpa mereka. Itu pun yang berada dalam zona
‘nyaman’ mereka. Jelas, sangat kontras dengan profil generasi visioner dan
generasi pemimpin peradaban.