30 March 2017

Tanggapan Terhadap Fenomena Sosial di Sekitar Kita



          Fenomena sosial adalah gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dan dapat diamati dalam kehidupan sosial. Banyak sekali fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita. Fenomena sosial terjadi terutama di perkotaan dimana ada banyak sekali masyarakat dari beragam latar belakang ekonomi, tempat kelahiran, budaya, dan bahkan agama. Salah satu contoh fenomena sosial yang ada di Yogyakarta adalah kejahatan kriminalitas. Belakangan ini di Jogja terdengar beberapa berita tentang korban Klitih yang dilakukan oknum remaja di Jogja. Klitih ini semacam gang, tim atau grup pengganti tawuran, biasanya sepulang sekolah berputar keliling mencari mangsa dari murid sekolah rival dijalan-jalan yang sepi dengan mengendarai sepeda motor. Kejahatan atau kriminalitas di kota-kota besar sudah menjadi permasalahan sosial yang membuat semua warga yang tinggal atau menetap menjadi resah, karena tingkat kriminalitas yang terus meningkat setiap tahunnya yang juga dapat terkena pada siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.
         
www.kaskus.com
  
Faktor pemicu kekerasan tentu saja tidak tunggal. Banyak factor yang berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung yang memicu timbulnya kekerasan. Beragam dan berulangnya kekerasan pelajar  jelas semakin menunjukkan kepada khalayak bahwa  ini merupakan perkara sitemik (melibatkan banyak aspek kehidupan).
            Sistem pendidikan saat ini gagal melahirkan generasi cemerlang yang berkepribadian unggul. Sistem pendidikan kita seakan tiada daya menggenggam para pelajar dalam proses edukasi. Para pelajar yang notabene pemuda seolah liar tak terkendali meluapkan emosi mereka. Pendidikan agama islam memang diberikan hanya saja dalam sudut pandang sekuler. Itu pun dengan metode pembelajaran yang didesain sebatas pemberian pengetahuan belaka dan jam pelajaran yang minimalis (3-4 jam pelajaran/pekan). Ketika Islam hanya diberi ruang sempit di pojok-pojok masjid, maka iman dan takwa pun tak diizinkan dapat mewarnai setiap aktivitas di luar ranah ibadah spiritual. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan jika output pendidikan pribadi anak didik menjadi sangat sulit dikendalikan dan diarahkan.
            Sistem pendidikan Kapitalisme juga telah menempatkan materi sebagai landasan berpikir dan beramal. Harta, tahta, wanita, dll diagung-agungkan. Setiap individu sangat didorong meraih semua itu karena memang itulah yang dianggap berharga dan mulia. Oleh karenanya, muncullah hedonism di kalangan pelajar. Ketika materi yang dianggap ‘sakral’ tersebut diganggu maka akan ada upaya mempertahankannya, tak jarang bahkan hingga mati-matian. Tak sedikit kasus pelajar bersimbah darah (bahkan hilang nyawa) ‘hanya’ karena ingin diterima dalam geng pelajar tertentu, dendam alumni,dll.
            Kapitalisme juga telah merenggut kesadaran politik pelajar hingga titik nadirnya. Proses pendidikan tak hanya lemah dalam membentuk kesadaran, tetapi juga dijauhkan dari politik. Padahal sejatinya politik merupakan pengaturan urusan ummat dalam setiap aspeknya. Alih-alih berkontribusi dalam menyelesaikan problem bangsa, sekedar mengikuti kabar dan berempati terhadap sesama saja sudah menjadi barang langka di kalangan pelajar kini. Para pelajar banyak berkutat pada urusannya saja. Mereka cenderung tercetak menjadi individu-individu yang fokus pada apa yang terjadi kini dan  atau yang menimpa mereka. Itu pun yang berada dalam zona ‘nyaman’ mereka. Jelas, sangat kontras dengan profil generasi visioner dan generasi pemimpin peradaban.