28 April 2017

Pemilihan Rektor di Perguruan Tinggi

Belakangan ini beberapa perguruan tinggi sedang heboh dalam masalah pemilihan rektor. Kegaduhan pada pemilihan rektor (pilrek) sejumlah perguruan tinggi semakin ramai seiring dengan informasi yang luas dan terbuka, dan juga kian riuhnya pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (pilkada). Ada kecenderungan pilrek meniru pola dan gaya pilkada dengan segenap pernak-perniknya, termasuk dengan kehadiran tim sukses dan pemanfaatan jasa pengerah massa menjelang hari H. 
Alih-alih menjadi pelopor pembangunan demokrasi, sejumlah perguruan tinggi bahkan telah gagal karena cenderung menjadi pengekor praktik demokrasi yang kurang baik. Mudah ditebak, ujung dari segala keterlibatan eksternal pada pilrek adalah kepentingan klasik: memperebutkan “uang negara”. Wajar jika akhir tahun lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai menunjukkan perhatiannya terhadap pilrek. Toh sudah banyak bukti bahwa peringatan dini dari institusi ini hampir selalu terbukti di kemudian hari.
Peraturan tentang pilrek memang telah berubah, namun saya menilai perbaikannya tidak menyentuh substansi persoalan yang sebenarnya sering terjadi. Tulisan ini berisi pokok pikiran yang diharapkan dapat melengkapi upaya perbaikan proses pemilihan rektor di perguruan tinggi, terutama pada perguruan tinggi yang “belum dewasa” dan rawan konflik. Untuk perguruan tinggi yang rawan konflik, kehadiran petugas kementerian sebagai representasi dari sosok netral sungguh sangat penting. Inilah yang mestinya diatur di dalam peraturan menteri tentang pemilihan rektor. Kehadiran petugas yang netral tidak perlu menunggu terjadi konflik parah sebagai solusi terakhir, tetapi memang  telah disiapkan oleh regulasi yang memungkinkan Menteri memiliki kewenangan menugasi tim untuk menyelenggarakan pemilihan rektor manakala ada indikasi gangguan netralitas di sebuah perguruan tinggi.
Tidak bisa dimungkiri bahwa “kekuasaan” rektor sebagai pemimpin perguruan tinggi sering melebihi proporsinya. Inilah yang menyebabkan gangguan netralitas rektor sebagai penyelenggara pemilihan. Oleh sebab itu, mengurangi “kekuasaan” yang berlebihan sudah harus menjadi tugas kementerian. Tim yang dibentuk oleh kementerian dapat menjadi katalisator netralitas dengan bekerja sama dengan rektor yang masih aktif.
Setidaknya ada empat tugas yang mesti dijalankan oleh tim. Pertama, tim memastikan himpunan anggota senat didefinisikan sesuai dengan statuta. Kedua, tim memastikan himpunan calon rektor didefinisikan sesuai dengan statuta. Ketiga, tim memastikan himpunan anggota kepanitian terdiri atas orang-orang yang independen. Ketiga tugas yang pertama ini substansinya melakukan “clearance” sebelum proses pemilihan agar tidak ada proses balik yang menggugat. Ada baiknya setiap ketiga tugas ini diakhiri dan  ditutup dengan berita acara “mengikat” yang ditandatangani oleh semua anggota senat, calon rektor, dan panitia.  Keempat, tim mampu membangkitkan harapan kepada seluruh sivitas akademika. Acap kali terjadinya gugat-menggugat di pemilihan rektor berawal dari tertutupnya seseorang memiliki harapan.
Peraturan Menteri tentang  pemilihan rektor perlu dievaluasi karena masih banyak kekurangan, diharapkan supaya peraturan lebih disederhanakan. Semakin panjang tahapan pemilihan rektor akan kian besar peluang terjadi konflik. Semakin lama proses pemilihan rektor akan kian banyak yang tidak sesuai dengan budaya akademik. Tahapan dan durasi pemilihan rektor, menurut peraturan yang berlaku sekarang atau sebelumnya, tampak berpola seperti pemilihan kepala daerah. Ke depan, peraturan menteri yang mengatur tentang pemilihan rektor perlu disederhanakan  dengan mengurangi jumlah tahapan dan durasinya.
Sesuai dengan Permenristekdikti Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri, ada empat tahap pengangkatan rektor PTN, yaitu tahap (1) penjaringan bakal calon, (2) penyaringan calon, (3) pemilihan calon, dan (4) penetapan dan pelantikan. Dua tahap pertama menjadi domain senat universitas, sedangkan pemilihan sebagai tahapan terakhir sebelum penetapan dan pelantikan menjadi ranah senat bersama dengan Menteri. Tahap penjaringan bertujuan mendapatkan calon rektor yang sesuai dengan persyaratan. Pada tahap ini dipersyaratkan minimal ada 4 calon rektor yang mengikuti kompetisi. Semangatnya sangat bagus, yaitu mendorong sivitas akademika peduli pada perguruan tingginya.
Tahap selanjutnyanya penyaringan calon rektor menjadi 3 orang. Tahap ini tampaknya dimaksudkan agar kementerian memperoleh gambaran calon rektor. Namun celakanya, justru pada tahapan ini sering mulai terjadi konflik. Ketika terpilih 3 calon rektor, pertentangan antar kelompok mulai meruncing. Biasanya yang banyak bermanuver mengundang pengaruh eksternal adalah “si kecil”, maksudnya yang memperoleh suara lebih kecil. Acap kali pemilihan rektor diulang dari awal justru ketika si “kecil” berulah setelah mengetahui hasil “kecil”-nya setelah tahap penyaringan.  Setahu saya  di dunia bulutangkis, belum ada sejarahnya pemain yang kalah di set pertama kemudian memaksa wasit “lain” untuk mengulang pertandingan dari babak awal guna mengalahkan lawannya. Seorang pemain bulutangkis sejati, baik yang menang maupun kalah di set pertama, tidak mungkin melakukan permainan “haram” seperti itu.
Menurut pendapat saya, tahap penyaringan (2) tidak diperlukan, lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Penyaringan menjadi 3 calon dimaksudkan agar kementerian tidak repot melakukan evaluasi yang kelak menjadi bahan pertimbangan Menteri memberikan suaranya pada tahap pemilihan. Namun menyaring menjadi  3 calon menguatkan tensi dan potensi konflik antarcalon dan pendukungnya. Usulan saya, sebuah pemilihan rektor terdiri atas dua tahap saja, yaitu pemetaan dan pemilihan bersama Menteri. Pada tahap pemetaan, senat dapat mengusulkan 6 hingga 10 calon rektor. Sungguh relatif  tidak ada kerepotan berarti ketika kementerian harus menilai 6-10 calon dibandingkan, misalnya, dengan mengurusi konflik antarkelompok.
Durasi pemilihan rektor tidak perlu selama seperti sekarang dengan total waktu 6 bulan. Menurut saya, durasi 2 bulan sudah sangat mencukupi, terutama rentang waktu antara tahap pemetaan dan pemilihan tidak melebihi 2 minggu. Persyaratan administrasi banyak yang sesungguhnya tidak diperlukan. Semakin panjang durasi tahap pemilihan semakin besar terjadi “masuk angin”, terutama ketika Menteri tidak cukup punya kedaulatan atas jabatan yang diembannya. Bisa dibayangkan ketika seorang Menteri harus mensintesiskan permintaan para pemimpin, organisasi masyarakat dan politik, serta institusi lain yang punya kekuatan menekan, yang tentunya membawa kepentingan yang berbeda-beda.

30 March 2017

Tanggapan Terhadap Fenomena Sosial di Sekitar Kita



          Fenomena sosial adalah gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dan dapat diamati dalam kehidupan sosial. Banyak sekali fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita. Fenomena sosial terjadi terutama di perkotaan dimana ada banyak sekali masyarakat dari beragam latar belakang ekonomi, tempat kelahiran, budaya, dan bahkan agama. Salah satu contoh fenomena sosial yang ada di Yogyakarta adalah kejahatan kriminalitas. Belakangan ini di Jogja terdengar beberapa berita tentang korban Klitih yang dilakukan oknum remaja di Jogja. Klitih ini semacam gang, tim atau grup pengganti tawuran, biasanya sepulang sekolah berputar keliling mencari mangsa dari murid sekolah rival dijalan-jalan yang sepi dengan mengendarai sepeda motor. Kejahatan atau kriminalitas di kota-kota besar sudah menjadi permasalahan sosial yang membuat semua warga yang tinggal atau menetap menjadi resah, karena tingkat kriminalitas yang terus meningkat setiap tahunnya yang juga dapat terkena pada siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.
         
www.kaskus.com
  
Faktor pemicu kekerasan tentu saja tidak tunggal. Banyak factor yang berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung yang memicu timbulnya kekerasan. Beragam dan berulangnya kekerasan pelajar  jelas semakin menunjukkan kepada khalayak bahwa  ini merupakan perkara sitemik (melibatkan banyak aspek kehidupan).
            Sistem pendidikan saat ini gagal melahirkan generasi cemerlang yang berkepribadian unggul. Sistem pendidikan kita seakan tiada daya menggenggam para pelajar dalam proses edukasi. Para pelajar yang notabene pemuda seolah liar tak terkendali meluapkan emosi mereka. Pendidikan agama islam memang diberikan hanya saja dalam sudut pandang sekuler. Itu pun dengan metode pembelajaran yang didesain sebatas pemberian pengetahuan belaka dan jam pelajaran yang minimalis (3-4 jam pelajaran/pekan). Ketika Islam hanya diberi ruang sempit di pojok-pojok masjid, maka iman dan takwa pun tak diizinkan dapat mewarnai setiap aktivitas di luar ranah ibadah spiritual. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan jika output pendidikan pribadi anak didik menjadi sangat sulit dikendalikan dan diarahkan.
            Sistem pendidikan Kapitalisme juga telah menempatkan materi sebagai landasan berpikir dan beramal. Harta, tahta, wanita, dll diagung-agungkan. Setiap individu sangat didorong meraih semua itu karena memang itulah yang dianggap berharga dan mulia. Oleh karenanya, muncullah hedonism di kalangan pelajar. Ketika materi yang dianggap ‘sakral’ tersebut diganggu maka akan ada upaya mempertahankannya, tak jarang bahkan hingga mati-matian. Tak sedikit kasus pelajar bersimbah darah (bahkan hilang nyawa) ‘hanya’ karena ingin diterima dalam geng pelajar tertentu, dendam alumni,dll.
            Kapitalisme juga telah merenggut kesadaran politik pelajar hingga titik nadirnya. Proses pendidikan tak hanya lemah dalam membentuk kesadaran, tetapi juga dijauhkan dari politik. Padahal sejatinya politik merupakan pengaturan urusan ummat dalam setiap aspeknya. Alih-alih berkontribusi dalam menyelesaikan problem bangsa, sekedar mengikuti kabar dan berempati terhadap sesama saja sudah menjadi barang langka di kalangan pelajar kini. Para pelajar banyak berkutat pada urusannya saja. Mereka cenderung tercetak menjadi individu-individu yang fokus pada apa yang terjadi kini dan  atau yang menimpa mereka. Itu pun yang berada dalam zona ‘nyaman’ mereka. Jelas, sangat kontras dengan profil generasi visioner dan generasi pemimpin peradaban.